(Foto:/Istimewa). |
Pola
pikir seseorang setara dengan pendapat mereka. Karena pendapat didasarkan pada
pemahaman pribadi dan bagaimana hal
itu digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kapasitas media untuk mempengaruhi opini publik adalah
salah satu kemampuan pers yang paling menakutkan. Artinya, hanya penyampaian
visual atau audiovisual akan dapat mempengaruhi perilaku masyarakat. .Hal ini menunjukkan bahwa media memiliki potensi yang
sangat tinggi untuk mengubah budaya masyarakat atau struktur pemerintahan.
Selain itu, media memiliki kekuatan untuk menggerakkan anggota masyarakat guna
terlibat dalam aktifitas perbaikan masyarakat. Mengapa aspek negatif bangsa ini
terus muncul di media? Mulai dari kemiskinan, kriminalitas, korupsi, dan
isu-isu asusila lainnya. Menurut penulis hal ini merupakan bentuk keberpihakan
dan upaya media untuk menyoroti fakta bahwa bangsa kita belum sepenuhnya
sejahtera. Masih ada beberapa titik kerusakan yang perlu diperbaiki. Hal-hal yang belum dilakukan oleh agen pemerintahan
dibocorkan oleh media. Tugas media adalah transparan, dan pemerintah atau
masyarakat akan melakukan tindakan lebih lanjut.
Coba bayangkan jika media di Indonesia hanya fokus
menampilkan kebaikan bangsa kita. Mungkinkah para generasi muda membawa rasa
nasionalisme? Mungkinkah usaha yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah akan
dilakukan segencar sekarang? Penulis percaya
keberanian pers menandakan awal perubahan. Ini adalah pintu bagi mereka yang
dirugikan dan berada dibawah tekanan dapat bersuara untuk memperjuangkan hak
serta menyampaikan aspirasi mereka. Kenyataan yang terkesan ditutup-tutupi
disebabkan oleh kurangnya opini dan media yang mengungkap sebab dan akibat dari
fenomena yang ada. Informasi tentang
kerusakan akan diikuti upaya perbaikan. Kebebasan Pers merupakan hasil dari
upaya memperjuangkan kehidupan informasi.
Politik
dan Maksiat Opini
“Lebih
baik hidup jujur meski dalam keburukan. Daripada hidup dalam citra kebaikan,
tapi itu bohong”.
Semua
orang mengharapkan perubahan. Akan tetapi Gagasan
perubahan yang diinginkan setiap orang berbeda.
Pada akhirnya, perjuangan untuk melakukan perubahan menjadi perjuangan untuk
saling melemahkan. Yang muncul hanyalah konflik
berkepanjangan jika aktivitas perubahan tidak mencapai
puncaknya. Ya, dalam dunia politik yang penuh “persimpangan” dan persaingan
ini, hanya ada dua kemungkinan. Yakni menjadi
orang yang membawa perubahan atau orang yang mengikuti perubahan. Daripada
menjadi objek, semua orang akan memilih menjadi subjek. Secara konstitusional,
status subjek sebagai "mahkota raja" diperebutkan saat itu. Peran media dalam konflik politik ini sebanding dengan
suara Tuhan. Suara yang paling tulus dan suci. Suara yang memiliki kekuatan
untuk menggerakkan dan mengubah pikiran dan hati seseorang. Media mengungguli
mesin politik (yang disebut parpol), karena opini publik dibangun oleh media,
yang tidak dapat dipisahkan dari citra. Ruang
politik akan menyeret media yang telah kehilangan independensi dan kode etik
lainnya. Pada akhirnya, seperti halnya partai politik, media juga membentuk
koalisi politik, membentuk oposisi politik media. Ini disebut dualisme kekuasaan Tuhan jika suara Tuhan
telah dipolitisasi dan membentuk oposisi (al-Anbiya 21).
Dengan demikian, media yang telah diintervensi hingga
menghilangkan sikap independensinya akan berpotensi melakukan kejahatan publik.
Dalam konteks politik, kejahatan tersebut ada dalam upaya memvisualisasikan
citra yang tidak sebenarnya. Citra yang dimaksud
disini, tentu tidak terbatas saat momen menjelang Pilpres seperti sekarang ini.
Tapi juga pencitraan dini yang ujung-ujungnya untuk mencapai kekuasaan, baik
dalam citra pemerintahan atau citra figurisasi.
Realitas dan citra tidak dapat dipisahkan. Namun, alih-alih berasimilasi, citra dengan realitas seringkali tampak terputus-putus. Keterputusan ini sering disebut dengan Hiperealitas. Yaitu, ketidakmampuan kesadaran untuk membedakan kenyataan dan fantasi. Citra dapat mengaburkan hal yang sebenarnya. Selain itu, media tentu dapat dengan mudah memanipulasi citra tersebut. Di sisi lain, kualitas pendidikan yang diterima masyarakat Indonesia belum cukup tinggi untuk mengaktifkan sistem filter dan membedakan antara realitas dan fantasi. .Akibatnya, sudut pandang yang bermotif politik dan provokatif dapat dengan mudah disisipkan oleh media. Saat itulah media telah menciptakan opini amoral, konspirasi besar-besaran.
Tindakan mempublikasikan opini atau berita yang tidak bermoral seharusnya tidak dilakukan. Akan jauh lebih baik menyebarkan informasi yang sebenarnya tanpa mencampuradukan argumen pribadi ke dalam informasi. Karena pergeseran dan penyimpangan dimulai dengan pencampuradukan sesuatu yang tidak semestinya. Kompleksitas diciptakan oleh pergeseran dan penyimpangan jangka panjang. Akibatnya, sulit bagi kita untuk membedakan antara benar dan salah, murni dan tidak murni. Karena semua telah bergabung untuk membentuk satu kesatuan. Dalam konteks ini jika media telah kehilangan kemurnian fungsinya, menghilangkan unsur kepentingan dari tubuh pers adalah langkah awal kembali ke kemurnian, agar pers bisa kembali pada hakikat sebenarnya. Gunakan cita-cita politik untuk bermain politik. Komunikasi yang ideal dengan media. karena ada "ruangan" dalam segala hal dengan batas pintu yang berbeda. Ayo, kita pertahankan kemerdekaan bersama.
Kontributor: Ahmad Nur Ichsan (Pengurus HMPS PPI 2022. Divisi Media Informasi dan Komunikasi).
0 Comments:
Post a Comment