Penyebaran Islam di Kudus telah menghasilkan nilai budaya lokal Gusjigang yang dihayati masyarakatnya. Nilai ini dicetuskan oleh Sunan Kudus dan telah tersebar sejak setengah abad lalu. Gusjigang selalu menarik untuk dikaji, terlebih lagi ia mampu menjawab tantangan zaman dan tetap lestari sampai masa sekarang. Gusjigang mengandung nilai universal yang dinamis dan luas cakupannya.
Tulisan ini mencoba untuk memberikan pandangan baru tentang Gusjigang dalam perannya untuk mewujudkan kehidupan humanis. Nilai Gusjigang yang dikenal sebagai akronim dari bagus, ngaji, dan dagang ternyata dapat mendukung terselenggaranya HAM. Lebih lanjut, Gusjigang dapat menginterpretasikan prinsip ketuhanan, keberadaban, dan kesejahteraan untuk menunjang kehidupan bersama.
Gusjigang pertama kali diperkenalkan oleh Ja’far Shodiq, atau lebih dikenal sebagai Sunan Kudus ketika berdakwah di daerah antara Kesultanan Demak dan Gunung Muria. Daerah ini kemudian dinamai Kudus, berasal dari al-Quds (bahasa Arab dari Yerussalem). Pada masanya, Ja’far Shodiq membangun menara yang identik dengan budaya Hindu-Budha berdampingan dengan masjid Al-Aqsho sebagai sarana menarik warga untuk mempelajari Islam. Dakwah sunan Kudus membuka jalur toleransi antar umat, membuat Islam diterima dengan senang hati oleh masyarakat. Istilah Gusjigang sendiri lahir karena Sunan Kudus yang ingin memberdayakan umat melalui perdagangan yang berlandaskan nilai Islam.
Nilai Gusjigang mampu diuraikan kedalam proses humanisasi. Tulisan ini ditujukan untuk mengetahui pemikiran gagasan Gusjigang serta cita-cita kemanusiaan yang dibangun Sunan Kudus melalui Gusjigang.
Gusjigang: Sebuah Proses Perubahan Sosial
Sunan Kudus adalah seorang wali yang ditugaskan untuk berdakwah di daerah Hindu-Budha dan Kejawen diantara Kesultanan Demak dan Gunung Muria. Dari arsip Kabupaten Kudus, Sunan Kudus dahulunya adalah pembimbing jamaah haji dan pernah menetap di Yerussalem untuk belajar agama. Disaat yang sama, beliau juga menyembuhkan wabah penyakit, dan dihadiahi ijazah wilayah oleh pemimpin Palestina. Ijazah wilayah adalah surat pemberian wewenang untuk menguasai suatu daerah di Palestina. Namun, Sunan Kudus meminta izin untuk menukarkan wilayahnya ke Jawa dan dikabulkan. Sebelum memulai misi dakwah, Sunan Kudus mendirikan masjid (simbol Islam) dalam satu kompleks dengan menara (simbol kepercayaan sebelumnya). Masjid ini kemudian diberi nama masjid Al-Aqsho, mengambil nama dari masjid di Yerussalem. Sedangkan nama Kudus berasal dari Al-Quds, istilah lain Yerussalem tempat Sunan Kudus pernah belajar.
Kegiatan mendasar yang dilakukan Sunan Kudus dalam berdakwah adalah merumuskan tujuan. Gusjigang diperkenalkan Sunan Kudus dengan tujuan untuk mengubah tatanan masyarakat melalui nilai Islam. Gusjigang adalah kependekan dari Bagus, Ngaji, dan Dagang. Bagus disini berkaitan dengan sikap positif atau etika individu, seperti welas asih (kasih sayang), tepo seliro (tenggang rasa), saling tolong menolong, sopan santun, dan halus sebagai cerminan pemahaman pada Islam. Sedangkan ngaji berarti sikap ikhlas dan senang untuk menambah ilmu. Rasa ikhlas lahir dari sikap positif menerima Islam, karenanya ngaji ditempatkan sesudah bagus. Dan terakhir adalah dagang yang berarti mencari penghidupan lewat berdagang atau berwirausaha. Ketiga nilai ini saling terkait dalam usaha dakwah Sunan Kudus.
Dakwah Sunan Kudus yang pertama adalah menciptakan lingkungan kondusif dengan mengubah karakter individu. Mengubah karakter individu telah lama menjadi strategi Islam dalam berdakwah. Agar masyarakat mau menerima Islam, maka langkah pertamanya adalah melunakkan hati mereka dengan perilaku halus. Yang termasuk pada hal ini adalah toleransi antar umat. Sikap toleran yang dicontohkan adalah dengan tidak menolak secara tegas ajaran agama sebelumnya, membuat Menara sebagai simbol Hindu-Budha berdampingan dengan masjid, mengenalkan selametan berasaskan islam, dan pelarangan menyembelih sapi untuk menghormati umat Hindu.
Setelah kondisi sosial membaik, barulah Sunan Kudus menyampaikan ajaran agamanya. Yang diajarkan adalah ibadah (hubungan manusia dengan Tuhannya) dan sosial (hubungan manusia dengan manusia). Agar ajaran agama terjaga, Sunan Kudus memberdayakan ekonomi masyarakat dengan cara berdagang. Masyarakat yang berhasil akan menyumbangkan keuntungannya untuk umat yang membutuhkan. Disinilah peran kesejahteraan sosial untuk merawat persatuan.
Nilai Gusjigang adalah siklus yang slalu berputar mengikuti tantangan dan perubahan dalam masyarakat. Dengan kegiatan mensejahterakan umat, persatuan dalam kelompok dan mengembangkan agama menjadi lebih mudah, karena masing-masing individu merasa haknya untuk melanjutkan hidup dan mendapat penghidupan yang layak terpenuhi sehingga hati individu melunak dan menerima agama. Siklus ini terus berlanjut sehingga membentuk peradaban yang kuat berdasarkan prinsip humanisasi. Hal ini secara historis dapat ditelusuri dari pola penyebaran Islam masa Rasulullah sampai Khalifah, yang merangkul umat melalui kesejahteraan sosial.
Memanusiakan Manusia dalam Kerangka Gusjigang
Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sudah religius sebelum agama lain datang. Pola khas membuat agama yang datang ke Jawa senantiasa menyesuaikan ajarannya dengan ajaran asli Jawa sebelumnya. Sebelum Islam datang di tanah Jawa, telah ada bentuk akulturasi antara agama Kapitayan dan Hindu-Budha. Agama asli jawa sebelumnya adalah Kapitayan dan prinsip yang dipegang dikenal sebagai Kejawen. Ajarannya dikenal sebagai piwulang luhur, menitik beratkan pada etika kemasyarakatan dan bagaimana hidup memberi manfaat, atau disebut urip iku urup. Hidup memberi manfaat ini mencakup bidang: memberi manfaat bagi dirinya sendiri, memberi manfaat pada keluarganya, memberi manfaat pada masyarakatnya, dan memberi manfaat pada lingkungannya. Setelah Hindu dan Budha datang, ajaran Kapitayan diserap dan menghasilkan pola sinkretisme antara ketiganya. Pola ini berlanjut sampai pada era penyebaran Islam di Jawa, dimana masing-masing wali tidak melakukan perlawanan frontal melainkan melakukan adaptasi. Hasil dari adaptasi ini adalah Islam kejawen yang sampai sekarang masih terpelihara. Yang tidak pernah hilang dari kejawen adalah piwulang luhurnya, yaitu hidup memberi manfaat. Hal ini tercermin dalam kegiatan sosial dan ekonomi. Salah satunya adalah gotong royong (guyub rukun).
Piwulang Luhur ini dilanjutkan oleh Sunan Kudus dengan nilai Gusjigang. Karena Gusjigang adalah siklus, maka tahap pertamanya adalah Bagus etikanya. Bagus etika ini dimulai dari masyarakat yang sejahtera dan memiliki semangat gotong royong. Bagus etika tidak akan terwujud bila masyarakat yang berbudaya piwulang luhur tidak ada, seperti pada masyarakat individualis. Setelah etika mulai tertata barulah nilai agama Islam masuk dan beradaptasi dengan lingkungan Kejawen sekitar. Oleh karena memberi manfaat dimulai dari sendiri maka diperlukan upaya penguatan ekonomi melalui dagang. Hasil lebih dari berdagang lalu disumbangkan pada masyarakat, sehingga menciptakan kesejahteraan sosial. Kelanjutan dari kesejahteraan adalah kembali pada bagus etika.
Konsep dalam Gusjigang bila dikaitkan dalam memanusiakan manusia maka ia menjiwai tiga nilai, yaitu: ketuhanan, keberadaban, dan kesejahteraan. Nilai Ketuhanan adalah nilai mendasar dalam menegakkan humanism dan menjamin terselenggaranya HAM. Artinya, semua kegiatan yang dilaksanakan dalam masyarakat senantiasa bertemu dengan agama sebagai landasan berperilaku dan berinteraksi. Nilai ketuhanan yang diajarkan oleh Sunan Kudus memiliki dimensi hablumminallah (hubungan makhluk dengan Tuhannya) dan hablumminannas (hubungan makhluk dengan makhluk lain). Hubungan dengan Tuhan diajarkan Sunan Kudus melalui tafsir Al-Quran, Sunnah, rukun iman dan rukun islam. Sedangkan hubungan dengan makhluk lain adalah pengajaran tata cara kehidupan bermasyarakat sebagai hasil dari pemahaman hablumminallah, seperti bahasa halus ketika berbicara, gotong royong, saling membantu. Masing-masing dimensi bertemu dan menghasilkan praktek bermasyarakat berdasarkan agama, seperti upacara selametan, dan tembang Jawa.
Meminjam pemahaman milik Soekarno dalam melihat agama, maka konsep ketuhanan di Indonesia adalah “Ketuhanan yang berkebudayaan”. Dimana setiap orang yang berbudaya memiliki Tuhan, dan setiap orang yang beriman pada Tuhan dalam mengamalkan ajarannya slalu berkesesuaian dengan budaya. Nilai Gusjigang lahir karena kuatnya budaya piwulang luhur mengenai tujuan hidup manusia dan rasa religius masyarakatnya, sehingga dibangunlah konsep yang mengadaptasikan budaya masyarakat dengan agama, dimana dalam piwulang luhur tersebut, yang dominan adalah memebri manfaat dalam hidupnya, maka agama dibawa untuk mengikuti pola-pola kemanfaatan dalam masyarakat. Contoh yang paling sederhana memang tolong-menolong atau gotong royong. Hasrat untuk tolong-menolong ini membentuk karakter bersosialisasi yang tanpa garis pemisah, tanpa membeda-bedakan, mengakui adanya perbedaan dalam masyarakat. Dalam era sekarang, peran untuk membangun ketuhanan yang berkebudayaan terdapat dalam lembaga-lembaga masyarakat dan kelompok adat dalam masyarakat pertama, keberadaban pada saat awal gusjigang lahir, beradab adalah langkah awal untuk menanamkan nilai-nilai agama, yang ditanamakan oleh sunan kudus. Makna lebih luas, keberadaban adalah hasil pendidikan dari elemen-elemen masyarakat yaitu dari interaksi individu dengan masyarakatnya sehingga membentuk kehidupan ynag beradab dan berpikiran terbuka serta mampu menerima perbedaan yang ada dalam masyarakat. Keberadaban dalam masyarakat kemudian diperkuat oleh agama sebaga pedoman individu/masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari2.
Hal ini menunjukkan pengakuan HAM yaitu kebebasan berbudaya. Nilai Gusjigang menunjukkan sifat universal dalam menjamin kebebasan berbudaya ditunjukkan dengan masih relevannya hingga sekarang. Kebudayaan lokal dijamin keberadaannya melalui perantara praktek agama, seperti selametan dan upacara adat. Nilai gus (bagus etikanya) berkembang melahirkan sikap toleransi dalam menyikapi lingkungan multikultural. Dan dagang (kegiatan ekonomi) menjadi sarana komunikasi yang mempertemukan berbagai budaya.
Melalui semangat ekonomi, Sunan Kudus memajukan masyarakat dengan jalan berdagang. Dagang yang diajarkan Sunan Kudus adalah dagang berasaskan Islam. Pada masa sekarang, dagang dimaknai luas sebagai aktivitas ekonomi untuk melanjutkan hidup. Nilai dagang menegakkan HAM yaitu hak bagi setiap individu untuk melanjutkan hidupnya. Selain itu, dagang mengharusnya terjadi komunikasi dan dialog yang mempertemukan bermacam-macam budaya. Melalui upaya dialog ini mampu mengembangkan rasa toleransi dan tepo seliro sehingga mampu menciptakan lingkungan damai dalam lingkungan multikultural dan multireligi. Kesejahteraan sosial dalam Gusjigang terwujud bila masing-masing individu mau membantu individu lain yang kurang mampu dalam ekonomi serta menjamin kebebasan setiap individu untuk melanjutkan aktivitas ekonomi. Gusjigang telah memberikan pandangan berkaitan dengan menjaga kesejahteraan dan persatuan, yaitu dengan mendistribusikan kekayaan atau kekuatan yang dimiliki kepada individu yang lebih membutuhkan agar individu tersebut merasa ada, tersentuh hatinya untuk berperadaban, dan tercipta rasa tepo seliro (tenggang rasa). Menjamin kesejahteraan ekonomi telah terbukti untuk menciptakan suatu lingkunagn yang humanis dan memiliki kepribadin yang baik.
Penjabaran lebih jauh lagi tentang gusjigaang sebagai konsep pengajaran budi pekerti, keagamaan, dan ekonomi dalam menjamin humanism adalah gusjigang sebagai konsep melawan musuh bersama yaitu kemiskinan, kebodohan, dan konflik. Bila masyarakat telah beradab dan memiliki kesadaran bermasyarakat yanngtinggi maka kecil kemungkinan terjadi konflik. Konsep ngaji dalam gusjigang yang mempelajari agama dan ilmu umum, ilmu bekerja akan meminimalkan kebodohan, serta ilmu yang diberikan untuk menggerakkan perekonomian akan menaikkan taraf hidup.
Nilai keberadaban yaitu sikap yang dihasilkan oleh kedua nilai sebelumnya dan bersifat praktek. Bagus etika ditunjukkan melalui sikap religius dan tepo seliro yang dihasilkan dari pengetahuan agama dan sosialnya. Sikap ini terealisasi dalam masyarakat ditunjukkan dengan menghormati budaya masing-masing individu, melaksanakan budaya lokal, dan tidak mendiskriminasi individu lain.
Kontributor: Melina Nurul Khofifah, mahasiswi PPI angkatan 2018.
0 Comments:
Post a Comment