Mahasiswa sebagai Agen of Social Control dalam Upaya Meminimalisir Informasi Hoax, Partisipasi Pasif, dan Hantaman Politik Uang



Mahasiswa Menyandang Predikat dengan Pendidikan Tertinggi dari yang Lainnya

Di dalam struktur kependidikan Indonesia, mahasiswa berpredikat menyandang status pendidikan tertinggi diantara yang lain. Dari status tertinggi tersebut diketahui bahwa mahasiswa sejatinya jika diartikan secara luas akan memperoleh makna terpelajar. Maha yang artinya “ter” dan siswa artinya “pelajar”. Terpelajar bukan sekedar mempelajari bidang yang ia pelajari, melainkan juga mampu menerapkan, menginovasi, dan mengembangkan dalam bidang tersebut. Disamping itu, melalui kutipan tokoh Jean Marais dalam novel Bumi Manusia yang mengatakan bahwa “seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.” Kutipan tersebut selaras dengan peran mahasiswa sebagai agen of social control atau pengontrol kehidupan sosial di kehidupan masyarakat. 

Lebih jauh lagi, mahasiswa sebagai agen of social control harus mampu diterapkan dengan sepenuh hati di lingkungan kampus dan masyarakat. Salah satu bentuk nyata adalah berperan mengawal proses jalannya perpolitikan di Indonesia baik elemen pemerintah dan masyarakat. Jika tidak bisa berkontribusi banyak, minimal mahasiswa harus mampu mengubah pola pikir masyarakat yang dirasa tidak benar namun tetap membudaya seiring berjalannya waktu. Seperti contoh partisipasi politik warga negara dalam suatu pemilihan umum maupun daerah dimana pelaksanaannya masih terdapat bentuk partisipasi pasif, adanya informasi bersifat hoax, belum lagi persoalan hantaman praktek politik uang yang masih terjadi di lingkungan masyarakat. Bukankah iklim politik di Indonesia seperti itu adanya? Benar sekali.

    Dari permasalahan tersebut, penulis mencoba menawarkan penyelesaian masalah dengan berbagai cara yang berlandaskan dari pemahaman literatur.


Ketika Sebuah Permasalahan Saling Terbentur dengan Kurangnya SDM yang Ber-Mindset Sama: Wujud Pembahasan dan Solusi

      Dalam proses mengkawal demokrasi di Indonesia khususnya yang mengarah ke ranah politik, paling tidak seorang mahasiswa harus “melek” dalam politik. Itu sebagai acuan dasar atau langkah awal dalam proses merubah, mengurangi bentuk perilaku masyarakat yang masih mudahnya menerima informasi hoax, pasif dalam berpartisipasi politik, dan praktek politik uang.

Namun, permasalahan tersebut tidak didukung oleh elemen masyarakat yang memadai, terutama mahasiswa. Lembaga Survey Indonesia yang menyatakan bahwa 79% mahasiswa di Indonesia tidak tertarik politik  dan di tempo.co menjelaskan bahwa hanya 11% mahasiswa ingin menjadi politikus. Itu artinya, hanya ada beberapa mahasiswa saja yang tertarik mengikuti, memahami politik di Indonesia.  

Padahal banyak sekali ditemukan kecurangan yang dilakukan oleh masyarakat. Melihat dari Pilkada tahun 2020 silam, berdasarkan data yang diperoleh dari tim Cyber Drone Kemenkominfo, terdapat setidaknya ada 47 isu hoax selama Pilkada 2020, lebih spesifiknya tersebar sebanyak 602 konten, 233 diantaranya sudah diblokir oleh Kominfo . Meskipun masifnya informasi hoax ini menurun dari tahun sebelumnya, tapi informasi hoax tersebut masih terjadi. Jika saja problem ini seimbang dengan SDM yang memadai, tentu proses pengkawalan ini memunculkan hasil positif dengan tidak adanya informasi hoax.

Terlebih era sekarang semakin canggih teknologinya. Keuntungan penggunaan tekhnologi digital harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam penanggulangan adanya informasi hoax. Segala informasi dapat diakses dengan mudah. Mahasiswa harus betul-betul memanfaatkan tekhnologi digital dengan bijak demi kemaslahatan masyarakat Indonesia.

Berpindah ke permasalahan selanjutnya yaitu rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam keikutsertaan dalam pemilihan dengan menggunakan hak suaranya tanpa ada keikutsertaan dalam bentuk lain. Kualitas partisipasi masyarakat dalam politik di Indonesia belum sepenuhnya tinggi. Masih terdapat di berbagai daerah yang kualitas partisipasinya rendah. Kemajemukan pola pikir masyarakat membuat partisipasi politik tidak merata. 

Seperti yang terjadi di Medan Sumatera Utara pada Pilkada 2020, dimana sejak reformasi, hingga saat ini partisipasi Pemilihan Kepala Daerah di Kota Medan terlihat tidak pernah menyentuh angka 60%.  Dalam hal tersebut, mahasiswa semestinya berperan sebagai kontrol politik dalam hal hubungan pemerintah dengan masyarakat atau sebaliknya. Lebih spesifik bertindak sebagai pengawas serta partisipan dalam membahas segala hal mengenai fungsi Pemerintah serta terkait pengambilan keputusan dan kebijakan Pemerintah. Intinya mahasiswa tidak boleh apatis terhadap politik di Indonesia.

Serupa dengan permasalahan politik uang yang masih saja terjadi disaat menjelang pemilihan umum dan daerah. Persoalan money politic (politik uang) di Indonesia bukanlah hal yang baru. Politik uang sering disebut sebagai korupsi elektoral karena politik uang  termasuk perbuatan curang dalam Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang hakikatnya sama dengan korupsi. (Estlund 2012:725) . Politik uang memang bisa disebut sebagai “penyakit demokrasi”, bahkan terus terjadi pada setiap pagelaran pesta demokrasi di Indonesia baik pemilu maupun pilkada.

 Sikap masyarakat dalam menindak lanjuti tawaran tersebut setidaknya ada empat respon. Pertama, menerima uang dan memilih pasangan calon tersebut, sikap ini bisa disebut sebagai pemilih transaksional (wujud dari politik uang). Kedua, menerima uangnya dan tidak memilih pasangan calon tersebut, sikap ini pun juga termasuk wujud politik uang bahkan pengelabuhan terhadap orang yang memberi uang. Ketiga, menolak uang tersebut dan tidak memilih pasangan calon yang disepakati. Keempat, menerima uang tersebut dan melaporkannya ke pihak berwenang seperti Bawaslu. Dari empat sikap tersebut, sikap ketiga dan keempat yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat sebagai pemilih. Namun sayangnya, setiap ada pesta demokrasi, penyakit demokrasi tersebut marak terjadi.

Adapun solusi sebagai mahasiswa, menjadikan sistem edukasi, sosialisasi, dan kolaborasi dalam meminimalisir praktek politik uang. Sistem edukasi, berarti meng-edukasikan kepada orang lain tentang bahaya politik uang, bisa kepada pihak terdekat seperti keluarga, lalu tetangga sekitar. Setelah dirasa memiliki sekumpulan masyarakat yang satu frekuensi dalam menyikapi politik uang, barulah ke tahap sosialisasi dan kolaborasi.

Lebih lanjut lagi, mensosialisasikan kepada masyarakat luas, tidak hanya dilakukan disaat menjelang pemilihan, namun bila tidak ada pelaksanaan pemilihan, tidak ada salahnya untuk mensosialisasikan bahaya politik uang. Tentunya dalam mensosialisasikan, penting rasanya bila berkolaborasi dengan instansi yang juga mencegah praktek politik uang. Yaitu Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Akan menjadi gerakan yang bermanfaat bila Bawaslu menggandeng para mahasiswa sebagai pengawas partisipatif sekaligus agen of social control. Utamanya dalam mensukseskan program Bawaslu yaitu pembentukan Desa Anti Politik Uang dan Desa Pengawasan.


Kesimpulan

Peran mahasiswa dalam pelaksanaan politik sangat dibutuhkan, khususnya meminimalisir menyebarnya informasi hoax, rendahnya partisipasi politik, dan praktek politik uang. Mahasiswa perlu melakukan perubahan perilaku dikarenakan mahasiswa merupakan kaum intelektual muda yang memiliki pemikiran kritis terhadap masalah-masalah politik yang sedang terjadi di Indonesia saat ini. Mahasiswa sebagai agen of social control sekaligus bagian dari fondasi bangsa memiliki peranan dalam mengawal proses politik di Indonesia. Yang perlu digaris bawahi, permasalahan diatas bisa dicegah, ditemukan solusi seperti menerapkan sistem edukasi, sosialisasi, dan kolaborasi. Baik permasalahan informasi hoax, partisipasi pasif, dan hantaman politik uang. Semoga demokrasi Indonesia dapat berjalan kearah yang lebih baik. Hidup mahasiswa!


Referensi: 

Nasution, Faiz Albar. “Menakar Partisipasi Politik Masyarakat Kota Medan Terhadap Pemilihan Walikota Medan Tahun 2020: Indonesia.” Politeia: Jurnal Ilmu Politik 12, no. 2 (2020): 97–133. 


Kontributor: Mochammad Ariq Ajaba,  Mahasiswa PPI'19.


1 comment:

About

Institut Agama Islam Negeri Kudus Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam Program Studi Pemikiran Politik Islam

Visi

Menjadikan Program Studi Unggul di Bidang Pemikiran Politik Islam Berbasis Islam Terapan pada Level Nasional Tahun 2023.

Misi

1. Melaksanakan pendidikan dan pengajaran pada Program Studi Pemikiran Politik Islam berbasis nilai-nilai Islam Terapan yang humanis, aplikatif, dan produktif.
2. Menyelenggarakan penelitian dalam bidang Pemikiran Politik Islam berbasis Islam Terapan serta mempublikasikan di jurnal nasional.
3. Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang pemikiran politik Islam berbasis nilai-nilai Islam Terapan yang humanis, aplikatif, dan produktif.

Address:

Jl. Gondangmanis No.51, Ngembal Rejo, Ngembalrejo, Kec. Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59322

Our Mail Addrees

hmpsppiiainkudus@gmail.com