Benarkah Covid-19 Tak Berarti Apa-Apa Bagi Masyarakat Desa?

sumber foto: sulawesion.com


Belakangan, Indonesia sedang dihadapkan dengan wabah virus Corona baru atau Covid-19. Virus tersebut pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019 lalu. Penyebarannya disinyalir berasal dari Pasar Seafood Huanan.Semua golongan manusia dapat terserang Corona, mulai balita, anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Virus Corona mampumenyebabkan gangguan pernapasan, pada tahap yang serius mampu menyebabkan kematian. Sampai pada 18 Maret, virus Corna telah menginfeksi 152 negara dengan jumlah kasus terkonfirmasi 184.976 kasus. Di Indonesia sendiri, per 18 Maretpukul 07.00 WIB, terdapat172 kasus terkonfirmasi dengan, 8 orang telah dinyatakan sembuh, sedangkan pasien meninggal berjumlah 7 orang .Angka ini menunjukkan adanya lonjakan kasus, dari 134 kasuspada 16 Maretmenjadi 172 kasus. Asrtinya ada penambahan kasus sebanyak 38 kasus positif Corona dalam sehari.

Masalah ini menjadikan negara gaduh. Pernyataan pemerintah yang mengatakan Indonesia kebal virus Corona kin itida kdapat menjadi jaminan. Pemerintah terlalumenganggap sepele masalah virus corona ini, seolah kita aman-aman saja dan tidak akan terserang virus Corona. Tidak seperti negara lain, kurang sigapnya pemerintah dalam upaya penanganan dan pencegahan menjadi salah satu faktor cepatnya laju penyebaran virus Corona. Berbeda dengan Korea Selatan yang sigap melakukan deteksi dini dan tracing dengan dibantu fasilitas laboratorium berjumlah 90. Indonesia hanya mempunyai 11 laboratorium pengujia nsaja. Di lain tempat, Singapura telah membentuk Multi-Ministry Taskforce on COVID-19 yang mengawal penanganan virus corona, dan bersifa ttransparan serta terbuka dalam menangani virus corona. Tindakan sepert iinilah yang diharapkan oleh masyarakat dunia termasuk Indonesia.

Pencegahan virus Corona di Indonesia sendiri dilakukan melalui Social Distancing atau pembatasan kontaksosial. Social distancing dilakukan dengan membatasi keramaian untuk mencegah kerumunan. Daerah yang menerapkan sistem ini akan membatasi pergerakan warganya dengan larangan pergi dari rumah, larangan berkumpul lebih dari 30 orang, menjaga jarak 1 sampai 2 meter dari orang lain, serta meliburkan segala aktivitas keramaian termasuk aktivita spendidikan. Sebagai daerah dengan jumlah infeksi paling banyak, DKI Jakarta telah mengupayakan pendisiplinan social distancing padawarganya. Diantanya dengan pembatasan pelayanan transportasi umum. Sayangnya, kebijakan ini justru menimbulkan antrean panjang dan berdesak-desakan di berbagai transportasi umum. Artinya, kebijakan ini gagal. Sehingga pada Selasa, 16 Maret kebijakan pembatasan transportas iumum dicabut. Pelayanan kembali seperti biasa dengan catatan pembatasan jumlah penumpang per bus (transjakarta).

Jika praktik di Jakarta gagal. Laluapakah social distancing masih efektif untuk mencegah penyebaran virus Corona? Mungkin penerapan social distancing masih bisa diterapkan pada daerah pusat atau perkotaan dengan pengawasan dan pendisiplinan langsung. Namun bagaimana dengan masyarakat di desa, yang notabenenya jauh dari pusat pemerintah dan memiliki nilai tradisi-tradisi yang berlainan dengan social distancing?

Ada selisih paham antara pembatasan interaksi melalui social distancing dan budaya berkumpu lpada masyarakat desa. Salah satunya adalah tradisi. Bulusan yang secara turun temurun diadakan di Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus.Bulusan adalah acara sedekah bumi sebagai bentuk terimakasih dan rasa horma tkepada leluhur. Tradisi ini diselenggarakan secara bersama-sama dan berkumpul dalam skala besar. Kondisi ini memaksa masyarakat yang mengikuti Bulusan untuk berdesakan dan bersinggungan. Berbandin gterbalik dengan social distancing yang membatasi kontak sentuhan langsung antar individu dan pelarangan berkumpul dalam jumlah banyak. Tradisi ini menjadi kendala pelaksanaan social distancing, bukan hanya karena pemahaman masyarakat jika Corona sam adengan flu biasa. 

Tapi juga karena sulitnya membendung kepercayaan tradisional yang sudah mengakar, yaitu keyakinan akan munculnya bencana jika tradisi sedekah bumi ditiadakan. Tanpa masyarakat sadari, penghentian sementara acara sedekah bumi tersebu tmampu mencegah masyarakat dari ancaman bencana yang lebih nyata, yaitu ledakan virus Corona.Hal in ijuga terjadi di Desa Dukuh waringin, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus.Tinggal di area pegunungan membuat masyarakat Desa Dukuh waringin masihmempercaya inilai-nilai tradisi lokal. Terlebih lagi desa ini menjadi lokasi wisata. Sehingga penutupan dalam rangka social distancing sulit dilakukan menimbang dampak ekonomi yang dapat ditimbulkan. Masyarakat Desa Dukuh waringin memilih tetap santai menanggapi virus Corona. Alasannya, karena mereka masih meyakani keampuhan rempah-rempah tradisional untuk “menangkal” virus.Padaintinya, social distancing akan selalu mengalami benturan dengan nilai-nilai tradisi yang ada di masyarakat desa.

Selain itu, ditengah kewaspadaan yang terus ditingkatkan, pemerintah Kabupaten Kudus masih menyelenggarakan Ta’sis Masjid Al Aqsa Menara Kudu spada 10-13 Maret 2020. Acara ini memang dilaksanakan sebelum adanya social distancing. Namun sepatutnya pemerintah Kabupaten Kudus mawasdiri untuk menghentikan acara tersebut. Terutama jika melihat keramaian yang ditimbulkan, banyaknya masyaraka tberkumpul dalam satu tempat, kontaksosial berupa sentuhan, dan stand makanan yang terbuka. Pemerintah Kabupaten Kudus tidak seharusnya memaksakan “aman” untuk acara besar seperti ini. Apalagi virus Corona dapa tsangat cepat menginfeks ilewat droplet ludah, ingus, ataupun bersin seorang penderita, dan mampu bertaha nsampai 24 jam di tempat droplet itu jatuh.

Selain bermasalah dengan nilai tradisi lokal, pelaksanaan social distancing di desa juga terkendal aoleh akses informasi. selama ini, pemerintah desa hanya membekal iwarganya dengan sosialisasi saja, bahkan ada dintara masyarakat yang belajar menangani secara otodidak. Inilah letak kesalahannya. Belajar ototidak bukan berarti salah, tapi banyaknya informasi palsu yang beredar di masyarakat dapat berakibat pada kesalah pahaman. Sebut saja informasi tentang rebusan bawang yang diklaim sudah terbukti membuat orang kebal virus corona. Bukan hanya informas itentan gobat virus Corona, beredar pula informasi yang mengatasnamakan organisasi kesehatan dunia seperti UNICEF danWHO. Bahkan, beberapa kali masyarakat menerima pesan berantai melaluiWhatsapp yang isinya untuk tidak takut virus Corona, tetap melakukan aktivita ssehari-hari, serta meningkatkan kegiatan beribadah yang sifatnya mandiri dan jamaah. Tak hanya dalam bentuk pesan, beredar pula video seorang pemuka agama yang mengatakan bahwa virus Corona adala husaha pemerintah menakut-nakuti masyarakat.

Seharusnya peran pemerintah desa bukan hanya memberikan sosialisasi berupa komunikas ipada masyarakatnya saja. Perlu ada usaha pengajaran secara berulang-ulang untuk membuat masyarakat mampu menyortir informasi. Memberikan pemahaman serta melaksanakan praktik langsung usaha pencegahan penyebaran virus dengan terjun langsung kemasyarakat mutlak dilakukan.Jika telah terbangun kesadaran pada masyarakat, maka bukan tidak mungkin masyarakat mau menerima adany apembatasan interaksi dan menunda aktivitas keramaian.

Dari penjelasan diatas, terungkap bahwa penerapan social distancing masih sulit dilakukan di pedesaan karena ada kepercayaan pada nilai tradis idan keterbatasn informasi yang diperole hmasyarakat desa. Dari pada hanya menggunakan social distancing melalui media, seharusnya pemerintah mulai memikirkan cara lain untuk menyadarkan masyarakat. Perjalanan perlahan untuk mendidik masyarakat secaralangsung jauh lebih baik dari pada meninggalkan mereka dengan ketidaktahuan padalah mereka masih bisa diselamatkan. Diperlukan penggerak dengan tekak untuk mendidik masyarakat. Bukan hanya berpangku pada sentralisasi wewenang pusat. Pemerintah baik desa, kecamatan, atau kabupaten berhak dan wajib mengeluarkan instruks iterkait pencegahan virus Corona agar tidak adasatu orang pun di desa yang tertinggal.

Harapan semua masyarakat Indonesia adalah kesigapan pemerintah dalam melakukan upaya pencegahan virus Corona.Serta mewujudkan upaya pencegahan yang merata di setiap masyarakat. Kesigapan bukan milik masyarakat kotadengan mobilitas tinggi saja, masyarakat desa apalagi masyarakat terpelosok jug aperlu upaya pencegahan agar masyarakat mampu dan siap menghadapi segala kemungkinan virus Corona. Pemerintah harus bisa memutus ranta ipenyebaran virus Corona dengan mendisiplinkan social distancing pada masyarakat selama 14 hari kedepan .Hasil dari social distancing ini akan terlihat dalam 14 hari kedepan, akankah rantai sebaran akan terputus di semua masyarakat, atau hanya akan efektif di masyarakat kota?


Kontributor: Muhammad Ariq Ajaba
Editor: Melina Nurul Khofifah

0 Comments:

Post a Comment

About

Institut Agama Islam Negeri Kudus Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam Program Studi Pemikiran Politik Islam

Visi

Menjadikan Program Studi Unggul di Bidang Pemikiran Politik Islam Berbasis Islam Terapan pada Level Nasional Tahun 2023.

Misi

1. Melaksanakan pendidikan dan pengajaran pada Program Studi Pemikiran Politik Islam berbasis nilai-nilai Islam Terapan yang humanis, aplikatif, dan produktif.
2. Menyelenggarakan penelitian dalam bidang Pemikiran Politik Islam berbasis Islam Terapan serta mempublikasikan di jurnal nasional.
3. Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang pemikiran politik Islam berbasis nilai-nilai Islam Terapan yang humanis, aplikatif, dan produktif.

Address:

Jl. Gondangmanis No.51, Ngembal Rejo, Ngembalrejo, Kec. Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59322

Our Mail Addrees

hmpsppiiainkudus@gmail.com