Judul Buku : Kita Perlu Egois
Penulis : Lulux Rofiatul Faidah
Cetakan : Keempat, 2023
Penerbit : TransMedia Pustaka
Tebal : 221
ISBN : 978-623-7100-72-0
Sering kali kita mendengar ajakan untuk mencintai diri sendiri, baik itu di media sosial, acara-acara seminar, bahkan dalam obrolan bersama teman pun tak luput dari ajakan untuk mencintai diri sendiri. Sebenarnya apa itu mencintai diri sendiri? Apakah hanya menyenangkan diri tanpa menyelesaikan permasalahan yang mungkin saja membuat diri terbebani, atau dengan bersikap seolah dunia ini ada untuk kita sehingga wajib hukumnya agar segala yang terjadi di sekitar sesuai dengan yang kita inginkan.
Rasanya tidak demikian, setelah membaca Kita Perlu Egois karya
Lulux Rofiatul Faidah, saya menemukan sesuatu yang nyata dan ada dalam diri
setiap manusia yakni: Egosentris. Egonsentris sangat berperan penting bagi
manusia guna bersikap egois. Dalam karya buku keduanya yang diterbitkan oleh TransMedia
Pustaka ini, setelah sebelumnya ada buku Ruang Untuk Bahagia. Lulux menampilkan
bentuk dari sikap egois melalui pelbagai keadaan yang banyak dialami anak muda
sekarang, yang sangat penting untuk dimiliki agar kita sebagai manusia dapat
bahagia, setidaknya itu yang disampaikan oleh Lulux dalam bukunya Kita Perlu
Egois.
Dalam hidup tentu ada yang kita inginkan, kita perjuangkan, dan kita usahakan. Segala yang kita lakukan saat ini bisa saja merupakan bagian dari upaya mewujudkan itu semua, bisa itu harapan orang tua, harapan teman sekitar, atau tanggung jawab karena kita adalah anak tertua diantara saudara-saudara lainya, dan umumnya anak tertua lah yang bertanggung jawab menjaga adik-adiknya. Namun apakah kita sebagai “Manusia Biasa” mampu mewujudkan segala harapan-harapan itu? Tuntutan, harapan, dan keinginan membuat kita harus bekerja keras.
Namun semua itu harusnya tidak membuat
kita lupa bahwa kita adalah “Manusia Biasa”. Manusia yang bisa sakit, manusia
yang bisa jatuh, dan harus kita ingat bahwa kita adalah manusia yang butuh
rehat dari segala pekerjaan yang menuntut kita tetap kuat.
Lulux juga
mengingatkan pembacanya bahwa sebagus apapun usaha dan rencana yang kita siapkan tetap
saja Tuhan memiliki cara dan rencana yang lebih baik dari yang bisa kita
lakukan. Maka tidak usah ngoyo sebab manusia hanya berikhtiar bukan menentukan.
“Tuhan, maaf
karena aku masih terlalu sering mengeluh meski tahu janji setelah kesulitan akan
ada kemudahan adalah kepastian,” (hlm. 43).
Berhenti
Kecewa
Harapan yang tak sesuai dengan kenyataan kerap kali menimbulkan kekecewaan, manusia adalah mahluk dengan perasaan. Mereka kerap kali asik menghayal, meraba-raba masa depan melalui intuisi, insting, juga imajinasi. Lulux mengisahkan kekecewaan berasal dari harapan yang manusia sandarkan pada manusia lainnya. Keluarga, saudara, teman, bahkan mereka yang tidak kita kenal dan hanya tahu kita dari media sosial tanpa sadar telah mengharapkan sesuatu dari kita.
Berbagai ucapan semangat serta doa yang diberikan terkadang tidak memberi kita dorongan justru hanya menambah beban, sebab tak semua dapat kita tunaikan tak semua dapat kita kabulkan, bagaimana bila harapan-harapan itu justru terpatahkan dengan hasil yang tidak memuaskan bagaimana bila doa-doa yang telah dipanjatkan tak memberi hasil yang diinginkan.
Maka tidak terlalu berharap adalah cara untuk berhenti merasakan
kekecewaan, sekali lagi Lulux mengingatkan bahwa harapan terbaik adalah harapan
yang ditujukan kepada tuhan sebab ia adalah yang MahaTahu, bukan manusia yang kadang-kadang
tidak mau tahu atau pura-pura tidak tahu.
“Aku pernah
berkata, jangan terlalu berharap padaku, aku ini hanya manusia yang tentu saja
paling pandai bikin kecewa,” (hlm. 66).
Bukan hanya itu, penyampaian ringan melalui tulisan yang Lulux bagikan juga memotret fenomena manusia dengan sifatnya yang suka membandingkan, membandingkan pencapaian, membandingkan kemampuan, hingga membandingkan kondisi sosial dirinya dengan orang lain yang dirasa lebih baik.
Tabiat semacam ini lah yang kemudian menimbulkan emosi negatif, kecewa, sedih, merasa rendah diri. Padahal harusnya kita paham jika setiap orang hanya akan membagikan kebahagiannya pada dunia tanpa perlu menunjukan perjuangan yang dilakukan (kecuali mereka yang pansos dan cari perhatian wkwk).
Dalam kondisi demikian perasaan iri menjadi lebih baik daripada harus menyalahkan diri sendiri (setidaknya itu yang saya dapatkan sebagai pembaca).
“Hingga
mereka merasa, aku tidak berharga, aku kalah, aku tidak lebih baik, aku gagal,”
(hlm. 98).
Cintai Diri Sendiri Dengan Tidak Menyakiti
Bahagia menjadi tujuan setiap insan manusia, dengan cara yang berbeda manusia menginginkan kebahagiaan, egosentris manusia menjadi pusat bagi manusia untuk bisa bahagia. Banyak yang mengatakan bahagia itu sederhana, bahagia bagi setiap orang itu berbeda maka tak adil rasanya jika mengklaim seseorang tidak bahagia sebab bahagia menurut mereka berbeda dengan bahagia dalam konsep kita. Kembali Lulux memberi pembaca gambaran untuk menafsirkan kebahagiaan, yakni bahagia tanpa menyakiti.
Berlatar hubungan asmara, anggapan generasi muda bahwa sumber
bahagia berasal dari orang yang dicintai, meski sungguh kehadirannya tidak
dihargai tidak membuat mereka mengerti. Mereka lebih memilih menderita dan
tersakiti sebab takut akan ditinggalkan, dan menahan kesenangan diri sebab
takut akan dibenci.
Padahal bahagia juga bisa kita dapatkan dengan mencintai dan menghargai diri sendiri. Lulux mengajak para pembacanya agar mengedepankan kepentingannya sendiri sebelum memikirkan orang lain.
Seakan menjadi tokoh dalam cerita kita dihadapkan dengan situasi bagai menggenggam bilah pisau, melepaskan berarti kehilangan atau tetap digenggam dengan resiko terlukanya tangan. Semua bergantung pada pribadi masing-masing, namun untuk apa memiliki jika hanya melukai? Bukankah diri sendiri adalah yang terpenting.
“Hati terlukai karena mempertahankan seseorang
yang tidak pantas dipertahankan,” (hlm. 190).
Sebagai buku
yang membahas tentang mental dan perilaku manusia Kita Perlu Egois sangat
mudah untuk dimengerti, dengan penggunaan bahasa yang sering digunakan
sehari-hari dan mudah dipahami membuat pembaca tidak perlu menemukan istilah
asing yang sulit dimengerti. Selain itu, sarana penyampaian melalui konteks
anak muda juga mempermudah pemahaman pembaca. Namun buku ini banyak mengulang pembahasan
yang cenderung sama dengan bungkus yang berbeda, hal ini mungkin akan sangat
menyebalkan bagi kalian yang mungkin lebih suka menikmati bacaan yang baku dan
tidak banyak diulang-ulang.
Oleh: Ahmad Nur Ichsan (Pengurus HMPS PPI 2023, Divisi Komunikasi informasi dan Humas)
0 Comments:
Post a Comment