Seni Jalanan Mural : Ancaman bagi Elit Politik?

                                                                                  

           sumber gambar : https://images.app.goo.gl/QVkqgoExxWH7t6wf9
 

    Beberapa waktu terakhir, publik diperlihatkan akan fenomena aksi kelompok masyarakat melontarkan pesan (condong mengarah kritikan) kepada jajaran elit politik melalui seni mural. Tak tanggung-tanggung, aksi tersebut dilakukan di berbagai penjuru Nusantara secara serempak dan berkelanjutan. Menurut pandangan penulis, kelompok “Gejayan Memanggil” lah yang menjadi pemrakarsa seruan aksi tersebut, setelah sebelumnya beberapa karya mural masyarakat kedapati dihapus oleh sekelompok yang disinyalir aparat pemerintah.

Adapun titik permasalahan yang bisa penulis tangkap yakni pada perspektif street artist (seniman jalanan), mereka membuat mural tersebut sebagai bentuk wujud penyampaian kritik terhadap jajaran elit politik atau pemerintah yang tidak bisa meminimalisir virus covid-19 secara maksimal, ditambah dengan adanya kebijakan yang berlaku berupa pembatasan kegiatan masyarakat atau dikenal dengan sebutan PPKM. Oleh karena PPKM, yang secara terus menerus diperpanjang, mayoritas kondisi masyarakat menjadi “tercekik”.

Di lain pihak, dalam perspektif aparat pemerintah, mereka berargumen bahwa mural tersebut dihapus lantaran substansinya mengandung unsur provokatif, dimana sifatnya dapat menghasut khalayak luas. Aparat pemerintah tak hanya menghapus mural tersebut, melainkan juga mencari, menangkap, dan membawa ke ranah hukum. Belum lagi aspek status legalitas juga dipersoalkan dalam pembuatan mural di ruang publik tersebut.

Sebagaimana yang kita ketahui, sejauh ini sudah ada 3 mural sepengetahuan penulis yang dihapus oleh pihak berwenang, diantaranya mural “Jokowi 404:Not Found” (Batuceper, Tangerang, Banten), lalu mural “Dipaksa Sehat di Negara Sakit” (Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur), dan mural “Tuhan Aku Lapar” (Jalan Aria Wangsakara, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten). Mengenai permasalahan tersebut, bagaimana pandangan dan solusi perspektif penulis? Sebelum mengutarakannya, mari kita kaji dan pahami bersama. 

Pada dasarnya, negara Indonesia adalah negara yang berbasis paham demokrasi, tepatnya demokrasi Pancasila. Salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya kebebasan berpendapat, menyampaikan aspirasi ke ruang publik, dan dalam melaksanakan hal tersebut tidak dibatasi atau tidak diperlakukan secara refresif. Itu berarti, masyarakat sah-sah saja dalam menuangkan ekspresi berpendapat. Sebagaimana dalam Pasal 28E ayat 2 UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.” Dan Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Secara hukum sudah jelas diatur dalam undang-undang sebagaimana yang telah jelaskan tadi, namun fakta di lapangan justru berbanding berbalik. Terbesit penulis muncul pertanyaan, sudahkah negara maksimal dalam memberikan kebebasan berpendapat tersebut terhadap rakyatnya? Sudah maksimal kah? Jelas belum. Kita refleksikan dengan permasalahan seni mural di ruang publik yang justru mendapat tindakan pencegahan oleh aparat pemerintah berupa penghapusan mural bahkan pembuatnya juga turut terseret ke ranah hukum. Adil kah? 

Menyikapi hal tersebut perlu dikupas secara runtut. Mari kita renungkan, penulis mengambil dari sebuah pepatah yakni “Tak akan ada asap jika tak ada api.” Para seniman mengekspresikan pendapat melalui mural mustahil jika tak ada penyebabnya, jika mengaca pada substansi mural yang tengah beredar, penulis menyimpulkan rata-rata mural tersebut mengekspresikan bahwa pemerintah belum maksimal dalam menangani pandemi covid-19, disamping itu juga ketidaksetujuan terhadap kebijakan PPKM di daerah setempat. PPKM hanya garis besarnya, lebih dalam lagi menyangkut persoalan pembagian bansos yang kurang merata hingga mengakibatkan kurangnya kesejahteraan rakyat. Itulah mengapa masyarakat utamanya seniman membuat mural yang berisi kritikan terhadap pemerintah. Jelas kritikan bukan hinaan. Sayangnya, mungkin kurangnya kesepemahaman antara masyarakat dan aparat pemerintah menyebabkan tindakan yang penulis rasa menyudutkan masyarakat (pemural). Tak ada ruang dialog terlebih dahulu antara kedua belah pihak (masyarakat dengan pemerintah), langsung dihapus bahkan pelakunya akan ditangkap dan dibawa ke ranah hukum. Hal tersebut seolah-olah masyarakat dibungkam keberlangsungan dalam menyatakan pendapat dan kritikan. Apakah membuat mural dianggap telah melakukan kriminalisasi? Menuai ancaman bagi tatanan negeri khususnya elit politik? Jika tidak, mengapa perlakuan yang didapati pemural sampai dengan ditangkap dan dibawa ke ranah hukum? Kembali penulis tanyakan sekali lagi, adil kah?

Itulah mengapa fenomena penyampaian pesan melalui mural sempat digerakkan secara masif sebagai bentuk perlawanan oleh kelompok masyarakat. Sebagaimana ungkapan Wiji Thukul “Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: LAWAN!”. Pecahlah gerakan pembuatan mural di berbagai daerah setempat.

Semestinya, harus ada ruang dialog terlebih dahulu antara kelompok masyarakat dengan pemerintah sebelum langsung meniban mural-mural tersebut supaya dapat menuai kesepemahan antar kedua belah pihak dan tidak menimbulkan pernyataan yang multitafsir. Sebenarnya, penulis tidak terlalu mempermasalahkan jika beberapa mural dihapus, itu menandakan bahwa pesan yang ingin disampaikan sudah tersampaikan, dan pasti pemural tidak akan mempermasalahkan karena jika satu mural dihapus, masih ada ratusan mural lainnya yang akan tetap tergambarkan. Dan justru memastikan bahwa masyarakat sedang dalam keadaan “dibungkam”. Sayangnya, justru merembet hingga penangkapan pemuralnya. Perlu lebih dipertimbangkan lagi soal keadilan disituasi seperti itu. Jika elit politik mengklaim bahwa tindakan pemural tersebut keliru dalam aspek legalitas nya, bagaimana dengan baliho para elit politik yang terpampang di ruang publik sana? Secara legalitas jelas legal, tetapi etis kah? Dipasang disaat kondisi sedang belum pulih seperti ini, pasti ada yang terganggu.  

Sama-sama menyuarakan pendapat, paling tidak jangan sampai ada yang merasa dirugikan. Penulis berharap, adanya ruang publik supaya dapat berujung kesepemahaman yang baik antara masyarakat dengan elit politik. Dan seni mural tetap bergaung sebagaimana mestinya tanpa adanya reduksi dan tindakan represif dari pihak mana saja. Tetaplah berkespresi wahai street artist!.

Kontributor: Mochammad Ariq Ajaba


0 Comments:

Post a Comment

About

Institut Agama Islam Negeri Kudus Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam Program Studi Pemikiran Politik Islam

Visi

Menjadikan Program Studi Unggul di Bidang Pemikiran Politik Islam Berbasis Islam Terapan pada Level Nasional Tahun 2023.

Misi

1. Melaksanakan pendidikan dan pengajaran pada Program Studi Pemikiran Politik Islam berbasis nilai-nilai Islam Terapan yang humanis, aplikatif, dan produktif.
2. Menyelenggarakan penelitian dalam bidang Pemikiran Politik Islam berbasis Islam Terapan serta mempublikasikan di jurnal nasional.
3. Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang pemikiran politik Islam berbasis nilai-nilai Islam Terapan yang humanis, aplikatif, dan produktif.

Address:

Jl. Gondangmanis No.51, Ngembal Rejo, Ngembalrejo, Kec. Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59322

Our Mail Addrees

hmpsppiiainkudus@gmail.com